Robert Nesta Marley

11.48 at 11.48


Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika, Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.

Bersama Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston. The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Pada bulan April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I —raja Ethiopia– ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.

The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.

Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.

One Love! One Heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One Love!);
Hear the children cryin (One Heart!)
(One Love / People Get Ready)

Dreadlock
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.

Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.

Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur. Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.

Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).

Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik reggae lahir pada tahun 1968.

Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlock yang permanen.

Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.

Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi yang ditandai dengan kehadiran sejumlah piranti komunikasi mutakhir, di mana setiap orang dapat mengolah, memproduksi, serta mengirimkan maupun menerima segala bentuk pesan komunikasi, di mana saja dan kapan saja, seolah-olah tanpa mengenal batasan ruang dan waktu, dengan sendirinya telah memacu terjadinya perkembangan di sektor media massa, yang merupakan bagian dari komponen komunikasi.

More…

Akibatnya, serbuan informasi yang bersumber dari media massa, baik cetak maupun elektronik, sebagai akibat dari perkembangan itu pun mulai terasa.
Disadari atau tidak, saat ini kita memang telah berada dalam suatu lingkaran yang sarat akan informasi.

Hal ini tentunya akan memberikan dampak-dampak tertentu bagi ummat Islam, baik positif maupun negatif. Namun pastinya, yang perlu diwaspadai adalah dampak negatif dari gencarnya perkembangan tersebut yang secara tidak langsung mulai mengisi liku-liku kehidupan umat Islam, serta dikhawatirkan dapat menggerogoti akidah dan keimanan umat.

Sebagai catatan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini perkembangan media massa dan arus informasi di Indonesia memang terbilang luar biasa. Seperempat abad yang lalu, Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang memanfaatkan satelit sebagai sarana komunikasi domestik, setelah Amerika dan Kanada.

Pada tahun 1986, Indonesia dalah negara satu-satunya di Asia Tenggara yang mengizinkan penggunaan antena parabola secara bebas. Saat itulah, arus informasi global yang sarat akan limbah budaya mulai menghantam.

Tak hanya itu, dalam kurun waktu yang singkat (1989-1993), lima stasiun televisi swasta hadir mendampingi TVRI, memanjakan masyarakat dengan berbagai tayangan.

Dan kini, sejumlah stasiun TV baru juga muncul kembali. Bukan cuma televisi, media radio dan media cetak pun tampaknya memiliki pertumbuhan yang cukup signifikan. Belum lagi jutaan situs yang tersebar di jaringan internet.

Memang, tampaknya adalah suatu hal yang musykil bagi kita untuk menghindar dari serbuan informasi, kecuali bila kita mengisolir diri dari kemajuan peradaban. Namun yang jelas, bagi seorang Muslim sesungguhnya tidak perlu khawatir dengan adanya perkembangan teknologi tersebut. Sebab Allah SWT telah mengisyaratkan melalui firman-Nya dalam QS Ar Ra’d (13) ayat 39-43, bahwa tiap-tiap masa mempunyai tantangan dan jawabannya sendiri-sendiri.

Pesatnya perkembangan iptek merupakan tantangan yang harus kita jawab. Untuk itu mungkin kita perlu sedikit mengkaji sebuah nasihat dari Sayyidina Ali Krw yang bunyinya: “Siapa yang merasa aman menghadapi zaman, zaman akan menghancurkannya. Siapa yang tinggi hati menghadapi zaman, zaman akan merendahkannya. Siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman, zaman akan menyelamatkannya.”

Relevansinya, manusia dengan segala keterbatasannya adalah makhluk yang sempurna, karena memiliki akal dan pikiran yang dapat digunakan untuk memngantisipasi segala keadaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Sebagai makhluk yang berakal dan berpikir, kita memang tidak boleh merasa aman dalam menghadapi zaman. Artinya, kita tidak boleh lengah atas segala hal yang bisa menggerogoti akidah dan keimanan kita, termasuk yang datangnya dari perkembangan teknologi komunikasi berupa serbuan informasi melalui media massa.

Dari sudut lain, kita pun tidak boleh tinggi hati dengan menganggap semua bentuk perkembangan zaman adalah kemudharatan. Sebab jika seorang Muslim sudah berpikir begitu, maka ia akan terlibas oleh perkembangan zaman. Akibatnya, ia akan jatuh rendah sebagai manusia yang ketinggalan zaman.

Seorang Muslim idealnya mampu bersandar pada tanda-tanda zaman. Artinya, ia mampu mengantisipasi segala perkembangan yang ada tanpa meninggalkan akidahnya.

Dalam konteks serbuan informasi, mungkin kita sangat perlu untuk mengingat firman Allah SWT dalam QS Al Hujurat (49) ayat 6, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”

Firman Allah di atas sesungguhnya merupakan instruksi yang amat tegas bagi setiap Muslim untuk bersikap kritis, tidak asal telan saja segala informasi yang datang bertubi-tubi setiap hari, jam, menit, bahkan detik. Jadi yang harus kita lakukan adalah bagaimana menciptakan suatu teknologi yang bermanfaat dan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

Seorang Muslim seharusnya mampu memanfaatkan teknologi sebagai tanda kemajuan zaman dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, tentu saja dibutuhkan kepintaran seorang Muslim untuk mampu menyeleksi dan mengkaji informasi yang datang melalui teknologi tersebut, sebab yang namanya distorsi dan polusi informasi akan selalu ada ketika sampai pada diri kita.

Memang, untuk merealisasikan atau memanfaatkan teknologi agar bernilai postif tidaklah gampang. Tapi, itulah tantangan zaman yang harus kita jawab. Yang pasti, kita harus senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Jadikanlah teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kecintaan kita kepada Allah SWT, karena teknologi merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Manusia dapat menciptakan teknologi yang hebat, namun Allah adalah Pencipta Yang Mahahebat. Jangan sampai kita diperbudak oleh perbuatan kita sendiri.